Selasa, 31 Januari 2012

perkembangan pers 2

 
PERKEMBANGANPERS DI INDONESIA
Negara demokrasi adalah negara yang mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Salah satu hak dasar rakyat yang harus dijamin adalah kemerdekaanmenyampaikan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan.Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakansalah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.

A.Pengertian Pers
Ada 2 pengertian tentang pers, yaitu sbb :
        1. dalam arti sempit ; Pers adalah media cetak yang mencakup surat
          kabar,koran,majalah, tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita.
        2. Dalam arti luas ; Pers mencakup semua media komunikasi, yaitu
        mediacetak, mediaaudio visual, dan media elektronik. Contohnya radio,
        televisi, film, internet, dsb.

B.Sejarah perkembangan pers dunia (Eropa)

Sejarah perkmbangan pers di dunia khusunya di eropa tak pernah jauh merupakancerminan dari pada zaman Romawi dan ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-wartwan ini terdri atas budaj-budak belian yang leh pemiliknya diberitugas mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidangsenat dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau,Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo ini, isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana.
Di Eropa, sebenarnya surat kabar cetakan terbit untuk pertama kalinya dan siapa penerbitnya, tidak begitu jelas. Tetapi pada thaun 1605 Abraham Verhoeven diAntwerpen Belgia, mendapat izin untuk mencetak Nieuwe Tihdininghen. Baru pada tahun1617 selebaran ini terbit dengan teratur yaitu 8-9 hari seklai. Tahun 1602 sudah memakinomor urut dan nama yang tetap Nieuwe Tijdininghem.
Di Jerman, terbit surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung pada 1609. pada tahun yang sama juga terbit surat kabar Relations di Strassburg. Surat kabar iniditerbitkan oleh Johan Carolus. Di Belanda, surat kabar tertua bernama Coyrante uytItalien en Duytschland terbit pada 1618. surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar VanHilten di Amsterdam. Di Inggris, surat kabar pertama bernama Curant of General newsterbit pada 1662. Di Perancis, pemerintah menerbitkan surat kabar Gasete de France pada1631. di Itali sudah ada surat kabar pada 1636.2

C.Perkembangan Pers di Indonesia

Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia.Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina, dan pers Nasional.
  1. Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Jurnalistik pers mulai dikenal pada abar 18,tepatnya pada 1744, ketika sebuah surat kabar berama Bataviasche Nouvellesditerbitkan dengan penguaaan orang-orang Belanda. Pada tahun 1776 , juga diJakarta, tebit surat kabar Vendu Views yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak abad ke 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yangkesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda. Pers kolonial meliputisurat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.
  1. Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. PersCina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belandayang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
  2. Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutamaorang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers inibertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan.Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan MedanPriyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional.
    Sedangkan surat kabar pertama sebagai untuk kaum pribumi dimulai pada 1854 ketikamajalah Bianglala diterbtikan, disusul oleh Bromartani pada 1885, kedua di Weltevreden,dan pada tahun 1856 terbit Soerat Kabar bahasa Melajoe di Surabaya.
    Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, ditandai dengan munculnya surat kabar pertamamilik bangsa Indonesia, namanya Medan Prijaji, terbit di Bandung. Surat kabar iniditerbitkan dengan modal dari bangsa Indonesia untuk Indonesia. Medan Prijaji yangdimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisuryo alias Raden Mas Djikomono ini pada mulanya,1907, terbentuk mingguan. Baru tiga minggu kemudian, 1910 berubah menjadi harian.Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pembuatan karangan dan ikatan
    Setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, pers Indonesia menikmati masa bulan madu.Di Jakarat dan di berbagai kota, bermunculan surat kabar baru, pada masa ini, persnasional bias disebut meujukan jatidirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi metekahanya bagaiaman mengamankan dan mengisi kekosongan kemerdekaan. Lain tidak. Bagi pers saat itu, tidak ada tugas yang mulia kecuali mengibarkan merah peutih setinggi-tingginya.
    A.Tahun 1945 – 1950-an
    Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers
    Indonesiamenjadisalah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan
    bangsa Indonesia. Beberapa harisetelah teks proklamasi dibacakan
    Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang
    kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang
    diperebutkanterutama adalahperalatan percetakan.
    Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang
    ditandaioleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita
    Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta
    Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
    B.Tahun 1950 – 1960-an
    Pers pada masa ini lebih banyak memerankan diri sebagai
    corong atau terompet partai- partai politik besar. Era inilah yang
    disebut era pers partisan. Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pole
    sekterian. Secara filosofispers tidak lagi mengabdikepada kebenaran untuk
    rakyat, melainkan kepada kemenanganuntuk pejabat partai.Sejak Dekrit
    Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasukimasa gelap gulita,
    setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit
    (SIT). Lebih parahlagi, setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi)
    pada organisasi politik atauorganisasi massa.Masa ini merupakan masa
    pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal.Pada masa
    demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam
    rangkamemperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada
    masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa
    partai politik memiliki media/koran sebagaicorong partainya. Pada
    masa itu, persdikenal sebagai pers partisipan.
    C.Tahun 1970-an
    Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu,
    pers mengalamidepolitisasi dan komersialisasi pers. Pada
    tahun1973, Pemerintah Orde Barumengeluarkan peraturan yang
    memaksa penggabungan partai-partai politik menjaditiga partai, yaitu
    Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan
    hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap
    pers sehingga pers tidak lagimendapat dana dari partai politik.
    D.Tahun 1980-an
    Pada tahun 1982, Departemen Penerangan
    mengeluarkan Peraturan MenteriPenerangan No. 1 Tahun 1984
    tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).Dengan adanya SIUPP,
    sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut olehDepartemen
    Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu,
    perssangat mudah ditutupdandibekukan kegiatannya.
    Pers yang mengkritikpembangunan dianggap sebagai pers yang
    berani melawan pemerintah. Pers sepertiini dapatditutup dengan cara
    dicabut SIUPP-nya.
    E.Tahun 1990-an
    Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi.
    Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan
    jatuhnya Soeharto, pers diIndonesia mulai menentang
    pemerinahdengan memuat artikel-artikel yang kritisterhadap
    tokoh dankebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada
    tigamajalahmingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
    F.MasaReformasi (1998/1999) – sekarang
    Seperti biasa, setiap kali suatu rezim tumbang, disitulah pers
    menikmati masa bulanmadu. Kelahiran orde reformasi sejak pukul 12.00 siang,
    kamis 21 Mei 1998 setelahSuharto menyerahkan jabatan presiden kepada
    wakilnya B.J. Habibie, disambutdengan suka cita. Terjadilah euphoria di
    mana-mana. Kebebasan jurnalistik berubahsecar drastis menjadi
    kemerdekaan jurnalistik, Departemen Penerangan
    sebagaimalaikat pencabut nyawa pers, dengan serta merta dibubarkan.Dalam
    era reformasi, kemerdekaan pers benar benar dijamin dan
    senantiasadiperjuangkan untuk diwujudkan. Pada masa ini terbentuk UU
    Nomor 40 Tahun 1999tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan
    terbukanya keran kebebasan informasi.Di dunia pers, kebebasan itu
    ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPPSebelum tahun 1998,
    proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapidengan
    instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.Semua
    komponen bangsa memilki komitmen yang sama: pers harus
    hidup danmerdeka. Hidup menurut kaidah manajamen dan
    perusahaan sebagai lembaga ekonomi.Merdeka menurut kaidah
    demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu sajasupemasi hukum.
Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia
senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Pers di
Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalahsbb :
1.Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
2.Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai
tujuansama dengan partai-partai politik yang mendanainya.
3.Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan
pencariandana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi
4.Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
5.Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ.
Habibie,yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman
Wahid dan MegawatiSoekarnoputri, hingga sekarang ini.

perkembangan pers

Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia




  1. Awal Kemerdekaan (1942-1945)
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk meneritkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
  1. Setelah Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959)
  1. Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti nama.
  1. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai semangat tinggi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.
Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional, karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa. Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
  1. Setelah Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di kalangan masyarakat luas.
Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI yang baru tersebut.
Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948 penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan.
Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti; kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
  1. Masa Orde Bru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun. Melalui surat kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat dan perasaannya, sehingga banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka saling berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak bisa bertahan untuk terus terbit dengan teratur.
Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan percetakan koran bangsa Indonesia.
Matinya majalah dan koran bermutu di masa Demokrasi Liberal kemungkinan besar disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus baik dibidang teknik redaksional, teknis peralatan, keuangan, dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya koran dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin buruk.
Di masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan. Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan surat kabar.
PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.
BPS singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos (Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan inti tujuan yang sama.
Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
  1. Disiplin kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi dengan patuh pada indtruksi atasan.
  2. Jaminan Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
  3. Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah control atas tiap anggota.
Sebagai langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.
Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ sendiri.
Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers Pancasila.
Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers, masyarakat dan pemerintah.
  1. Masa Orde Baru dan Era Reformasi
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers.
Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab sosial.
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.

Senin, 16 Januari 2012

mesin bubut

Mesin Bubut

1. Pengertian Mesin Bubut
Mesin bubut merupakan salah satu jenis mesin perkakas. Prinsip kerja pada proses turning atau lebih dikenal dengan proses bubut adalah proses penghilangan bagian dari benda kerja untuk memperoleh bentuk tertentu. Di sini benda kerja akan diputar/rotasi dengan kecepatan tertentu bersamaan dengan dilakukannya proses pemakanan oleh pahat yang digerakkan secara translasi sejajar dengan sumbu putar dari benda kerja. Gerakan putar dari benda kerja disebut gerak potong relatif dan gerakkan translasi dari pahat disebut gerak umpan (feeding).

Gambar1. Proses pembubutan


2. Komponen Utama Mesin Bubut
Mesin bubut pada dasarnya terdiri dari beberapa komponen utama antara lain: meja mesin, a headstock, a tailstock, a compound slide, across slide, a toolpost, dan leadscrew dan lain-lain. Pada gambar 2.2 berikut ini diperlihatkan nama-nama bagian atau komponen yang umum dari mesin bubut:



Gambar 2. Komponen Utama Mesin Bubut

Tailstock untuk memegang atau menyangga benda kerja pada bagian ujung yang berseberangan dengan Chuck (pencekam) pada proses pemesinan di mesin bubut.

Lead crew adalah poros panjang berulir yang terletak agak dibawah dan sejajar dengan bangku, memanjang dari kepala tetap sampai ekor tetap. Dihubungkan dengan roda gigi pada kepala tetap dan putarannya bisa dibalik. Dipasang ke pembawa (carriage) dan digunakan sebagai ulir pengarah untuk membuat ulir saja dan bisa dilepas kalau tidak dipakai.

Feedrod terletak dibawah ulir pengarah yang berfungsi untuk menyalurkan daya dari kotak pengubah cepat (quick change box) untuk menggerakkan mekanisme apron dalam arah melintang atau memanjang.

Carriage terdiri dari tempat eretan, dudukan pahat dan apron. Konstruksinya kuat karena harus menyangga dan mengarahkan pahat pemotong. Dilengkapi dengan dua cross slide untuk mengarahkan pahat dalam arah melintang. Spindle yang atas mengendalikan gerakan dudukan pahat dan spindle atas untuk menggerakkan pembawa sepanjang landasan.

Toolpost digunakan sebagai tempat dudukan pahat bubut, dengan menggunakan pemegang pahat.
Headstock , yaitu tempat terletaknya transmisi gerak pada mesin bubut yang mengatur putaran yang dibutuhkan pada proses pembubutan.

3. Dimensi dan Jenis-Jenis Mesin Bubut
Dimensi atau ukuran mesin bubut biasanya dinyatakan dalam diameter benda kerja yang dapat dikerjakan pada mesin tersebut. misalnya sebuah mesin bubut ukuran 400 mm mempunyai arti mesin bisa mengerjakan benda kerja sampai diameter 400 mm. Ukuran kedua yang diperlukan dari sebuah mesin bubut adalah panjang benda kerja. Beberapa pabrik menyatakan dalam panjang maksimum benda kerja diantara kedua pusat mesin bubut, sedangkan sebagian pabrik lain menyatakan dalam panjang bangku. Ada beberapa variasi dalam jenis mesin bubut dan variasi dalam desainnya tersebut tergantung cara pengoparasiannya dan jenis produksi atau jenis benda kerja.
Dilihat cara pengoperasian mesin bubut dibagi menjadi dua jenis yaitu mesin bubut manual dan mesin bubut otomatis. Mesin bubut manual adalah mesin bubut yang proses pengoperasiannya secara manual dilakukan oleh manusia secara langsung, sedangkan mesin bubut atomatis adalah mesin bubut yang perkakasnya secara otomatis memotong benda kerja dan mundur setelah proses diselesaikan, dimana semua pegerakan sudah diatur atau diprogram secara otomatis dengan mengunakan komputer. Mesin bubut yang otomatis sepenuhnya dilengkapi dengan tool magazine sehingga sejumlah alat potong dapat diletakan dimesin secara berurutan dengan hanya sedikit pengawasan dari operator. Mesin bubut otomatis ini lebih dikenal dengan sebutan CNC (Computer Numerical Control) Lathe Machine ( mesin bubut dengan sistem komputer kontrol numerik), seperti pada gambar berikut:


Gambar 3. Jenis Mesin Bubut;
a. Mesin bubut manual, b. Mesin bubut CNC